Kau Tersenyum di Balkon Istana, Tapi Matamu Menyembunyikan Duka Embun pagi merayapi kelopak bunga lili di taman istana, basah dan dingin ....

Drama Baru! Kau Tersenyum Di Balkon Istana, Tapi Matamu Menyembunyikan Duka Drama Baru! Kau Tersenyum Di Balkon Istana, Tapi Matamu Menyembunyikan Duka

Kau Tersenyum di Balkon Istana, Tapi Matamu Menyembunyikan Duka

Embun pagi merayapi kelopak bunga lili di taman istana, basah dan dingin. Di balkon tinggi, Xiao Yun berdiri, gaun sutranya berkilauan tertimpa cahaya fajar. Senyumnya merekah, manis dan menenangkan. Senyum yang setiap hari dipajangnya untuk seluruh kerajaan. Tapi di balik senyum itu, matanya… seperti danau es yang membeku.

Di bawahnya, di antara bayang-bayang pepohonan kuno, Lin Wei mengawasi. Matanya tajam, penuh curiga. Lin Wei, seorang tabib istana yang rendah hati, namun menyimpan SEJARAH yang kelam. Ia mencari kebenaran yang tersembunyi di balik tembok istana, kebenaran yang melibatkan Xiao Yun, permaisuri yang dicintai seluruh negeri.

"Permaisuri Xiao Yun adalah anugerah," bisik seorang dayang yang lewat. Lin Wei hanya mendengus dalam hati. Anugerah? Atau kutukan yang disembunyikan dengan rapi?

Dinasti itu makmur di bawah kepemimpinan Kaisar yang bijaksana dan Permaisuri yang anggun. Namun, Lin Wei tahu, kemakmuran ini dibangun di atas KEBOHONGAN. Kebohongan yang dimulai bertahun-tahun lalu, ketika keluarga Lin Wei difitnah dan dibantai. Hanya Lin Wei yang selamat, bertekad membalas dendam.

Dendam itu kini terfokus pada Xiao Yun. Ia yakin, Xiao Yun adalah dalang di balik tragedi keluarganya.

Setiap hari, Lin Wei mengumpulkan serpihan kebenaran. Ia membaca catatan kuno, menguping percakapan, mengamati gerak-gerik Xiao Yun dengan saksama. Ia melihat bagaimana Permaisuri berinteraksi dengan Kaisar, bagaimana ia memperlakukan para dayang, bagaimana ia menyembunyikan sesuatu yang dalam di balik senyumnya.

"Anda terlalu dekat dengan api, Tabib Lin," desis seorang kasim tua suatu malam. "Bahayanya bisa membakar Anda sampai abu."

Lin Wei hanya tersenyum pahit. Ia sudah terbakar lama.

Konflik semakin memanas. Lin Wei menemukan bukti yang mengarah langsung pada Xiao Yun. Ia merencanakan konfrontasi, siap membongkar kebohongan itu di hadapan seluruh istana. Namun, Xiao Yun selalu selangkah lebih maju. Ia tahu Lin Wei sedang mendekat.

Suatu malam, Lin Wei diundang ke kediaman Permaisuri. Ia datang, siap dengan kebenaran yang akan menghancurkan.

"Tabib Lin, saya tahu apa yang Anda cari," kata Xiao Yun, suaranya lembut. "Dan saya tahu mengapa."

Lin Wei terkejut. Bagaimana bisa?

Xiao Yun menceritakan kisah yang berbeda. Kisah tentang pengkhianatan, konspirasi, dan pilihan sulit yang harus ia ambil untuk melindungi orang-orang yang dicintainya. Ia mengakui perannya dalam tragedi keluarga Lin Wei, namun ia melakukannya bukan karena kebencian, melainkan karena… cinta.

Ternyata, keluarga Lin Wei menyimpan rahasia yang bisa menggulingkan dinasti. Xiao Yun, yang saat itu masih seorang putri, dipaksa untuk memilih: menyelamatkan kerajaannya atau menyelamatkan keluarga Lin Wei. Ia memilih kerajaannya.

"Saya tahu, tidak ada yang bisa membenarkan apa yang saya lakukan," kata Xiao Yun, air mata mengalir di pipinya. "Tapi saya harap, Anda bisa mengerti…"

Lin Wei terguncang. Kebenaran yang ia cari ternyata jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan. Dendamnya mulai goyah.

Namun, kebenciannya terlalu dalam. Ia memutuskan untuk melanjutkan rencananya.

Pada perayaan ulang tahun Kaisar, Lin Wei membongkar kebenaran di hadapan seluruh istana. Ia menunjukkan bukti-bukti yang ia kumpulkan, menuduh Xiao Yun sebagai pengkhianat.

Kaisar terkejut. Seluruh istana gempar.

Xiao Yun tidak menyangkal. Ia mengakui semuanya.

Kaisar, dengan hati hancur, menjatuhkan hukuman mati pada Xiao Yun.

Lin Wei menyaksikan Xiao Yun dibawa pergi. Ia melihat senyumnya yang tenang, senyum yang menyimpan perpisahan.

Beberapa hari kemudian, Lin Wei berdiri di balkon istana, tempat terakhir ia melihat Xiao Yun. Ia menatap ke kejauhan, merasakan kekosongan yang besar. Ia telah membalas dendam. Tapi apa yang ia dapatkan?

Ia melihat sebuah surat tergeletak di lantai. Surat dari Xiao Yun, yang ditulis sebelum ia dieksekusi. Dalam surat itu, Xiao Yun menulis: "Saya tahu Anda akan melakukan ini. Saya tidak menyesal. Saya hanya berharap, Anda bisa menemukan kedamaian setelah ini."

Lin Wei meremas surat itu di tangannya. Ia berhasil. Tapi kemenangan itu terasa pahit, hampa, dan dingin.

Ia memandang ke langit, tempat di mana abu Xiao Yun diterbangkan. Senyum tipis terukir di bibirnya. Balas dendam yang tenang. Balas dendam yang menghancurkan.

Apakah kebenaran yang dicari selalu membawa kedamaian, atau justru hanya membuka luka yang lebih dalam?

You Might Also Like: Produk Skincare Rekomendasi Dokter

Roh yang Menyimpan Rahasia Reinkarnasi Langit Jakarta, tahun 2347, berwarna senja abadi. Sinyal Wi-Fi berdenyut lemah, seperti jantung yan...

Cerpen Keren: Roh Yang Menyimpan Rahasia Reinkarnasi Cerpen Keren: Roh Yang Menyimpan Rahasia Reinkarnasi

Roh yang Menyimpan Rahasia Reinkarnasi

Langit Jakarta, tahun 2347, berwarna senja abadi. Sinyal Wi-Fi berdenyut lemah, seperti jantung yang kelelahan. Anya menatap layar holografik, menunggu. Sedang mengetik... Pesan dari Kai, kekasihnya, selalu berhenti di sana. Kai, yang katanya hidup di masa lalu. Sungguh absurd!

"Seorang arkeolog digital jatuh cinta pada roh penasaran? Konyol," gumamnya, jarinya menari di atas tablet.

Di sisi lain, di sebuah desa terpencil di Tiongkok, tahun 1888, Kai duduk di bawah pohon plum yang sedang mekar. Dia bukan arkeolog, tapi seorang penulis naskah. Mimpi-mimpinya aneh. Visi-visi tentang gedung-gedung tinggi, manusia terbang dengan kotak di tangan. Dan Anya… Anya, gadis dengan rambut seputih awan dan mata sebiru lautan, muncul dalam setiap mimpinya.

Dia menulis tentang Anya, tentang kota masa depan yang tak pernah dia lihat. Naskahnya aneh, penuh dengan kata-kata seperti "hologram," "Wi-Fi," dan "selfie." Teman-temannya menertawakannya, menyebutnya gila.

"Aku merasakan kehadirannya," bisik Kai pada angin, "Walaupun terpisah jarak dan WAKTU!"

Anya, di masa depan, mencoba memahami. Kai mengiriminya sketsa-sketsa aneh melalui kanal quantum entanglement yang samar. Sketsa tentang dirinya, tentang kota yang dia tinggali. Mungkinkah… mungkinkah Kai benar-benar hidup di masa lalu?

Cinta mereka tumbuh di celah-celah dimensi, di antara pesan yang hilang dan sinyal yang redup. Mereka berbagi puisi-puisi digital, soneta-soneta kuno, semuanya terjalin dalam benang yang tak kasat mata. Cinta mereka adalah melodi yang patah, dimainkan di dua piano yang terpisah abad.

Suatu malam, Anya menerima sebuah pesan dari Kai. Bukan sketsa, bukan puisi. Hanya satu kata: "TEMUKAN."

Anya mengikuti petunjuk itu. Dia menjelajahi arsip sejarah digital, menelusuri jejak-jejak kehidupan Kai. Dia menemukan naskah-naskah Kai, kisah-kisah aneh tentang masa depan. Dan di akhir salah satu naskah, dia menemukan sebuah lukisan. Lukisan itu bukan tentang dirinya, bukan tentang kota masa depan. Lukisan itu adalah potret seorang wanita.

Wanita itu… wanita itu adalah Anya. Wanita itu adalah dirinya, di kehidupan sebelumnya.

RAHASIA itu akhirnya terungkap. Kai dan Anya, dalam setiap reinkarnasi, selalu mencari satu sama lain. Cinta mereka adalah gema dari kehidupan yang tak pernah selesai, kutukan abadi yang memaksa mereka untuk terus mencari dan kehilangan. Mereka terikat oleh roh yang menyimpan rahasia reinkarnasi, roh yang tak pernah bisa tenang.

Layar holografik Anya berkedip-kedip, pesan "sedang mengetik..." menghilang. Dunia di sekitarnya mulai meredup.

Mungkin...ini...akhir...atau...baru...permulaan...?

You Might Also Like: Distributor Kosmetik Bisnis Sampingan

Hujan kota Jakarta mengetuk jendela apartemenku, iramanya serupa notifikasi yang tak henti-hentinya berdentang di ponselku. Bukan notifika...

Langit Yang Mengutuk Keturunan Langit Yang Mengutuk Keturunan

Hujan kota Jakarta mengetuk jendela apartemenku, iramanya serupa notifikasi yang tak henti-hentinya berdentang di ponselku. Bukan notifikasi darinya, tentu saja. Notifikasi yang kurindu lebih dari aroma kopi yang mengepul di cangkirku, lebih dari mimpi yang diam-diam kucuri di tengah malam.

Namanya adalah Ren.

Dan kami... kami adalah kutukan.

Keturunan keluarga yang dipisahkan oleh rahasia yang lebih kelam dari langit Jakarta di musim hujan. Keturunan dua keluarga yang, menurut legenda kuno, tidak ditakdirkan untuk saling mencintai.

Dulu, aku tertawa mendengar cerita itu. Dulu.

Kami bertemu di dunia yang serba cepat dan serba ada. Lewat aplikasi kencan yang menjanjikan kebahagiaan instan. Awalnya hanya saling melempar emoji dan pujian basi. Lalu, obrolan larut malam yang mengungkap tawa dan luka. Kami berbagi playlist favorit, saling mengirim foto matahari terbit dan quotes puitis. Kami jatuh cinta, seperti anak-anak kecil yang baru pertama kali merasakan manisnya permen kapas.

Namun, takdir punya rencana lain.

Keluarga kami. Dua dinasti bisnis yang saling bersaing, terikat oleh perjanjian kuno yang dilanggar oleh kakek buyut kami. Perjanjian yang, ketika dilanggar, mendatangkan kutukan: keturunan mereka tidak akan pernah menemukan kebahagiaan sejati bersama.

Ren tahu. Dia sudah tahu sejak awal. Itulah mengapa, suatu malam, dia menghilang. Tanpa jejak. Tanpa penjelasan. Hanya sisa chat yang tak terkirim di ponselku, berisi kata-kata yang terasa seperti pecahan kaca yang tajam: "Maafkan aku. Kita tidak bisa."

Hari-hari berikutnya adalah kabut kelabu. Aku mencoba melupakannya. Mencari pelipur lara dalam gemerlap lampu kota, dalam pesta-pesta mewah yang penuh dengan wajah-wajah asing. Namun, di setiap sudut kota, aku melihatnya. Bayangannya mengejekku, mengingatkanku akan cinta yang tak mungkin.

Perasaan kehilangan itu samar, namun menusuk. Seperti jarum suntik yang perlahan meracuni hatiku. Aku mulai menggali. Mencari tahu apa sebenarnya rahasia di balik kutukan itu. Aku menemui tetua-tetua keluarga, membaca buku-buku kuno, menjelajahi lorong-lorong waktu yang berdebu.

Dan akhirnya, aku menemukannya.

Kebenaran yang lebih menyakitkan daripada kutukan itu sendiri.

Kakek buyut Ren, dialah yang melanggar perjanjian itu. Dialah yang memulai rantai kesengsaraan ini.

Lalu, sebuah ide muncul di benakku. Sebuah ide yang manis, dingin, dan mematikan. Sebuah balas dendam lembut.

Aku tahu kelemahan keluarga Ren. Aku tahu titik lemah bisnis mereka. Aku tahu bagaimana membuat imperium mereka runtuh.

Aku menggunakan semua yang kupelajari, semua koneksi yang kumiliki, untuk menghancurkan mereka. Bukan dengan teriakan dan amarah, tapi dengan senyum yang menawan dan kata-kata yang manis. Aku bermain-main dengan mereka, seperti kucing bermain dengan tikus sebelum menerkamnya.

Di malam kemenangan terakhirku, aku berdiri di balkon apartemenku, menatap gemerlap lampu kota. Ponselku berdering. Nomor tak dikenal.

Aku menjawab.

Hening.

Lalu, suara Ren.

Lembut, berbisik, memilukan.

"Kau berhasil."

"Ya," jawabku, dingin.

"Aku tidak menyalahkanmu."

"Aku juga tidak mengharapkan maafmu."

Hening lagi.

Lalu, dia menutup telepon.

Aku memejamkan mata. Hujan semakin deras. Air mata mengalir di pipiku. Aku meraih ponselku dan mengetik sebuah pesan. Pesan terakhir.

Aku mengirimkannya.

Sebuah foto. Diriku. Tersenyum. Dan di belakangku, fajar menyingsing, mengusir kegelapan.

Pesan itu berbunyi: "Selamat tinggal, Ren. Terima kasih atas segalanya."

Aku mematikan ponselku.

Kini, yang tersisa hanyalah kehampaan yang indah, di mana dendam dan cinta berdansa dalam harmoni yang aneh... dan aku bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang telah mengutuk siapa?

You Might Also Like: Kau Bilang Cinta Sudah Mati Tapi

Kabut menggantung rendah di Pegunungan Cangwu, menyelimuti puncak-puncak bagai hantu yang berbisik. Sepuluh tahun berlalu sejak Li Wei meng...

Dracin Populer: Tangisan Yang Kucium Sebelum Tidur Dracin Populer: Tangisan Yang Kucium Sebelum Tidur

Kabut menggantung rendah di Pegunungan Cangwu, menyelimuti puncak-puncak bagai hantu yang berbisik. Sepuluh tahun berlalu sejak Li Wei menghilang, terjatuh ke jurang saat berburu. Semua meratapi kematiannya, namun Nona Zhao, tunangannya, menolak percaya. Setiap malam, di paviliun kesepian menghadap gunung, ia membiarkan air matanya tumpah.

Malam ini, di tengah isak tangisnya, sebuah suara menyapa, "Nona Zhao, mengapa Anda menangis?"

Nona Zhao tersentak. Di ambang pintu, berdiri seorang pria. Bayangannya samar, namun matanya... mata itu tidak mungkin salah.

"Li... Li Wei?" bisiknya, tercekat.

Pria itu tersenyum tipis. "Sudah lama, bukan? Istana ini tidak banyak berubah. Kecuali... mungkin, lebih sunyi."

Paviliun bagaikan lorong istana yang sunyi, udara dipenuhi aroma melati yang memabukkan, namun terasa berat. Nona Zhao bangkit, mendekat dengan ragu. "Bagaimana mungkin? Mereka bilang... mereka bilang kau mati."

Li Wei mengulurkan tangan, menyentuh pipi Nona Zhao dengan lembut. Sentuhan itu dingin, nyaris hampa. "Kematian adalah ilusi, Nona Zhao. Terkadang, kita hanya bersembunyi di balik kabut, menunggu waktu yang tepat untuk menampakkan diri."

"Tapi... mengapa? Mengapa selama ini?"

"Pertanyaan yang bagus." Li Wei berbalik, memandang ke arah pegunungan yang gelap. "Ada kebenaran yang harus diungkap. Rahasia yang terkubur di bawah fondasi istana ini."

Nona Zhao mengerutkan kening. "Rahasia apa? Siapa yang menyembunyikannya?"

"Anda. Anda yang menyembunyikannya, Nona Zhao. Anda selalu memegang kendali." Suara Li Wei berubah, dari lembut menjadi dingin, bagai pisau yang mengiris udara.

Nona Zhao mundur selangkah. "Aku? Apa maksudmu?"

Li Wei tertawa lirih. "Ingat malam itu, Nona Zhao? Malam di mana saya 'terjatuh' ke jurang? Anda tahu persis apa yang terjadi. Kecemburuan Anda, ambisi Anda... semuanya terukir jelas di mata Anda saat itu."

Kilatan ketakutan melintas di mata Nona Zhao. "Itu... kecelakaan. Aku bersumpah!"

"Sumpah yang diucapkan di bawah cahaya bulan, Nona Zhao? Sumpah yang sama yang Anda ucapkan saat mencium tangisan saya sebelum tidur, setiap malam setelah kejadian itu?" Li Wei mendekat, bayangannya semakin menakutkan. "Anda pikir saya tidak tahu? Bahwa Anda mengatur semuanya, memanfaatkan 'kematian' saya untuk merebut kekuasaan?"

Nona Zhao terdiam. Semua topengnya runtuh, memperlihatkan wajah kejam yang selama ini tersembunyi. Air mata mengalir di pipinya, bukan air mata kesedihan, melainkan air mata kepanikan.

Li Wei berdiri tepat di depannya. Matanya menusuk, menghancurkan setiap pertahanan yang dibangun Nona Zhao selama sepuluh tahun.

"Anda pikir Anda menang, Nona Zhao? Anda salah. Kematian saya hanyalah awal dari permainan ini. Permainan yang Anda ciptakan, dan akan Anda menangkan."

Nona Zhao menatap Li Wei, bibirnya bergetar.

"Tapi... dengan harga yang sangat mahal."

Dan dalam tatapan Li Wei, Nona Zhao melihat bayangan masa depannya: istana yang kosong, kekuasaan yang hampa, dan kebenaran yang akan terus menghantuinya... karena dia selalu tahu, bukan jurang yang menelan Li Wei, melainkan ambisinya sendiri.

You Might Also Like: Jual Skincare Non Komedogenik Untuk

Rahasia yang Menenggelamkan Silsilah Angin malam di Kota Chang'an berdesir lirih, membawa aroma melati dan debu jalanan. Di tengah gem...

Cerpen Terbaru: Rahasia Yang Menenggelamkan Silsilah Cerpen Terbaru: Rahasia Yang Menenggelamkan Silsilah

Rahasia yang Menenggelamkan Silsilah

Angin malam di Kota Chang'an berdesir lirih, membawa aroma melati dan debu jalanan. Di tengah gemerlap lentera yang menari-nari, berdiri seorang wanita bernama Li Wei. Dahulu, ia adalah putri bangsawan yang dimanjakan, tunangan pangeran mahkota. Sekarang, ia hanya bayangan, seorang yatim piatu yang terbuang, dengan hati yang dipenuhi kenangan pahit seperti racun.

Cinta dan kekuasaan… keduanya telah merenggut segalanya darinya. Pangeran Jun, dengan senyum semanis madu dan ambisi sekeras baja, telah menjanjikan bulan dan bintang padanya. Tapi, di balik tatapan mata birunya yang memesona, tersembunyi perhitungan dingin yang tak kenal ampun. Ia menikahi Li Wei untuk memperkuat posisinya, lalu mencampakkannya saat tak lagi berguna. Keluarga Li Wei dituduh berkhianat, dihukum mati, dan Li Wei menyaksikan semuanya, terikat dan tak berdaya, saat dunia yang ia kenal hancur berkeping-keping.

Bertahun-tahun berlalu. Luka menganga itu perlahan menjadi keropeng, lalu menjadi urat-urat baja yang mengalirkan kekuatan di sekujur tubuh Li Wei. Ia belajar bersembunyi, mengasah kecerdasan, dan merajut rencana. Ia bekerja sebagai pelayan di istana, mengumpulkan informasi sedikit demi sedikit, menanam benih keraguan di antara para bangsawan, dan belajar seni racun dari tabib istana yang terbuang. Setiap hari adalah medan perang, setiap senyuman adalah topeng, setiap kata adalah senjata.

Kecantikannya, yang dulu naif dan ceria, kini memancarkan aura yang berbeda. Kelembutan yang menipu, dikombinasikan dengan ketegasan yang menakutkan. Ia seperti bunga teratai yang tumbuh di lumpur, keindahannya tak tertandingi, tetapi akarnya terikat erat dengan penderitaan.

Balas dendam bukanlah amarah yang membabi buta. Balas dendam adalah tarian anggun yang dipelajari Li Wei dengan kesabaran yang tak terhingga. Ia tidak berteriak, ia tidak mengancam. Ia hanya membisikkan kebenaran di telinga yang tepat, menyingkap rahasia yang telah lama terkubur, dan membiarkan silsilah kekaisaran runtuh dengan sendirinya. Pangeran Jun, yang kini telah menjadi Kaisar, mendapati dirinya terperangkap dalam jaring intrik yang ia sendiri tenun. Sekutu berubah menjadi musuh, kepercayaan menjadi pengkhianatan, dan takhta yang ia rebut dengan kejam mulai berguncang di bawah kakinya.

Pada malam penobatan Kaisar baru, Li Wei berdiri di balkon istana, memandangi api yang membara di kejauhan. Ia tidak tersenyum, ia tidak menangis. Ia hanya merasakan kedamaian aneh, sebuah kekosongan yang memuaskan. Pangeran Jun telah kehilangan segalanya: kekuasaan, reputasi, dan akhirnya, nyawanya.

Li Wei menatap rembulan yang pucat, membiarkan angin memainkan rambutnya. Bayang-bayang masa lalu masih menghantuinya, tetapi ia tidak lagi lari. Ia telah menghadapi iblisnya, dan ia menang.

Dan akhirnya, mahkota terindah yang pernah ia kenakan adalah… kebisuan.

You Might Also Like: Distributor Kosmetik Modal Kecil Untung

Bunga plum bermekaran di atas salju yang memudar. Musim semi di Desa Yulan selalu membuat Lin Yi, atau seharusnya Xiao Hua , merasakan geta...

Kisah Seru: Aku Tersenyum Di Atas Luka, Karena Itu Satu-satunya Yang Tersisa Kisah Seru: Aku Tersenyum Di Atas Luka, Karena Itu Satu-satunya Yang Tersisa

Bunga plum bermekaran di atas salju yang memudar. Musim semi di Desa Yulan selalu membuat Lin Yi, atau seharusnya Xiao Hua, merasakan getaran aneh. Getaran familiar yang menghantui, seperti lagu lama yang terlupa. Ia hanyalah seorang gadis desa biasa, terlahir dengan tanda lahir berbentuk bunga persik di bahu kirinya – anomali yang seringkali membuatnya menjadi bahan bisikan.

Namun, di malam-malam sunyi, mimpi-mimpi aneh datang mengunjunginya. Mimpi tentang istana megah, pedang berlumuran darah, dan tatapan seorang pria yang menusuk jantungnya dengan dingin. Pria itu… terasa begitu dekat, begitu familiar, namun juga begitu kejam.

Xiao Hua menyukai teh herbal. Ia belajar membuatnya dari Nenek Mei, satu-satunya orang yang benar-benar mengerti keheningannya. Suatu sore, saat Nenek Mei mengajarinya cara memetik melati, sebuah kereta kencana berukir naga tiba-tiba berhenti di depan gubuk mereka. Seorang pria berpakaian sutra emas keluar, matanya tajam seperti elang.

"Xiao Hua?" tanyanya, suaranya bagai beludru yang dilapisi baja. "Apakah itu namamu?"

Pria itu memperkenalkan diri sebagai Jenderal Zhao, utusan dari Kekaisaran Langit. Ia mengatakan bahwa Xiao Hua terpilih untuk menjadi bagian dari Harem Terpilih, sebuah kehormatan… atau mungkin, sebuah kutukan.

Di istana yang berkilauan, mimpi-mimpi Xiao Hua semakin jelas. Ia mengingat namanya yang dulu: Permaisuri Lian. Ia mengingat cinta yang membara, dan pengkhianatan yang membekukan hati. Kaisar Li Wei, pria yang dulu ia cintai sepenuh jiwa, telah bersekongkol dengan selirnya, Mei Lan, untuk menjatuhkannya dari tahta dan merebut kekuasaan.

Mei Lan… nama itu bagai racun di lidahnya. Di kehidupan ini, Mei Lan adalah Selir Zhang, wanita paling berpengaruh di harem, yang terus menerus mengawasinya dengan senyum sinis.

Xiao Hua tahu, instingnya mengatakan demikian.

Namun, ia bukan lagi Permaisuri Lian yang lemah. Luka masa lalu telah menempa dirinya menjadi baja yang lebih kuat. Ia tidak menginginkan darah dan perang. Ia hanya ingin… kedamaian.

Ia menggunakan pengetahuannya tentang herbal, yang ia pelajari di desa, untuk mendapatkan kepercayaan para wanita di harem. Ia menjadi penasehat, teman, dan mendengar. Ia menyadari bahwa Selir Zhang haus akan kekuasaan, namun juga diliputi rasa takut.

Suatu malam, Kaisar Li Wei jatuh sakit. Selir Zhang, dengan dalih merawatnya, diam-diam memberinya racun. Racun yang sama persis dengan yang digunakan untuk membunuh Permaisuri Lian di kehidupan sebelumnya.

Xiao Hua, tanpa ragu sedikitpun, menukar cangkir racun dengan cangkir teh herbal yang ia buat sendiri. Selir Zhang, dalam kesombongannya, meminumnya sendiri.

Tidak ada yang curiga. Selir Zhang meninggal dunia, korban penyakit aneh. Kaisar Li Wei, yang perlahan pulih berkat teh herbal Xiao Hua, mengangkatnya menjadi Permaisuri Baru.

Xiao Hua, Permaisuri Lian yang telah terlahir kembali, duduk di singgasana, menatap ke bawah pada kekaisaran yang dulu menjadi mimpi buruknya. Ia tahu bahwa Kaisar Li Wei tidak mencintainya, ia hanya menginginkan kekuasaan. Tapi kali ini, Xiao Hua memegang kendali.

Dengan satu dekrit sederhana, ia membuka gerbang istana untuk rakyat jelata, mendistribusikan kekayaan istana untuk yang membutuhkan, dan mengumumkan bahwa ia tidak akan pernah melahirkan ahli waris untuk tahta. Kekaisaran itu… akan berakhir bersamanya.

Ia tersenyum, senyum yang pahit namun kuat. Balas dendamnya tidak berdarah. Balas dendamnya adalah keputusan untuk mengubah takdir.

Menjelang akhir hayatnya, Xiao Hua, Permaisuri Lian, menatap langit senja. Ia merasakan jejak kehadiran Jenderal Zhao, pria yang membawanya ke istana. Pria yang, di kehidupan sebelumnya, adalah kasim setia yang membantunya melarikan diri dari kematian.

Mata mereka bertemu, dan dalam tatapan itu, ia melihat janji.

Mungkin, di kehidupan yang akan datang, mereka akan bertemu lagi, dalam keadaan yang berbeda.

You Might Also Like: Distributor Kosmetik Bisnis Sampingan