Tangisan yang Terlupakan oleh Waktu
Hujan abu mengguyur kota kuno Luoyang. Wei Ying, seorang pelukis muda dengan mata setajam elang, menatap kanvasnya dengan hampa. Lukisan plum blossom-nya, yang biasanya dipenuhi vitalitas, terasa seperti reproduksi tanpa jiwa. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang penting, yang terus menghantuinya.
Ia seringkali terbangun dengan teriakan tertahan, mimpi buruk tentang istana berdarah dan wajah-wajah yang dikenalnya… tetapi tidak dikenalnya.
Suatu hari, saat menjelajahi toko barang antik yang suram, matanya tertumbuk pada sebuah jepit rambut giok berbentuk phoenix. Saat menyentuhnya, BUM! Kenangan berkelebat: ia adalah Xiao Zhen, permaisuri kesayangan Kaisar Longwei, dikhianati dan diracun oleh selirnya sendiri, Mei Lin. Mei Lin, yang dengan senyum manis menawarkan anggur kematian, Mei Lin yang merebut tahta dan kasih sayang Longwei.
Rasa sakit pengkhianatan itu mengoyak jiwanya. KENAPA?
Namun, Xiao Zhen yang sekarang adalah Wei Ying, tidak bisa melakukan pembunuhan. Balas dendamnya akan lebih halus, lebih menghancurkan. Ia akan menggunakan bakatnya, lukisannya, untuk mengukir takdir baru.
Wei Ying melukis potret Mei Lin, yang kini menjadi seorang sosialita kaya raya yang haus pujian. Namun, potret itu bukan sekadar gambar. Setiap goresan kuasnya adalah doa, setiap warna adalah kutukan. Ia melukisnya dengan keindahan yang memudar, dengan kesepian yang merajam jiwa. Potret itu menjadi sangat populer, dipuja oleh semua orang… kecuali Mei Lin sendiri. Setiap kali ia menatapnya, ia merasa semakin tua, semakin hampa, semakin terkucil.
Wei Ying tersenyum tipis. Ia telah meracuni jiwa Mei Lin, bukan dengan racun, tetapi dengan kesadaran akan kekosongan hidupnya.
Suatu malam, Mei Lin, terisak di depan potretnya, memutuskan untuk menyumbangkan seluruh kekayaannya untuk amal, mencari kedamaian yang tak kunjung datang. Kehancurannya sempurna.
Wei Ying, menyaksikan berita itu dari kejauhan, merasakan beban berat terangkat dari pundaknya. Dendamnya telah terbalaskan, bukan dengan darah, tetapi dengan kehilangan.
Saat hujan abu terus mengguyur Luoyang, Wei Ying kembali melukis. Plum blossom-nya kini dipenuhi warna dan kehidupan. Ia tahu, takdirnya masih panjang, dan mungkin, di kehidupan selanjutnya, mereka akan bertemu lagi… dan ia akan mengingat.
Kali ini, semuanya akan berbeda.
You Might Also Like: Endingnya Gini Air Mata Yang Menjadi
0 Comments: