Kabut tipis menyelimuti Danau Bulan, menyembunyikan permukaan air yang tenang, serupa dengan rahasia yang menyelimuti keluarga Lin. Di sana, di tepi danau itulah, Mei Lan berdiri, gaun sutranya berkibar lembut, matanya menatap kosong ke arah kejauhan. Ia adalah putri sulung keluarga Lin, pewaris tunggal keanggunan dan… kutukan.
Mei Lan hidup dalam kebohongan yang indah, sebuah lukisan sempurna yang dipoles setiap hari oleh senyum palsu dan anggukan setuju. Ia tahu, di balik kekayaan dan status keluarganya, tersembunyi darah dan pengkhianatan. Ia dipaksa tersenyum di depan para bangsawan, dipaksa tunduk pada aturan kuno, dipaksa menutupi sejarah kelam yang menggerogoti jiwanya.
Di sisi lain Kota Terlarang, seorang pemuda bernama Jian, seorang sarjana miskin namun berhati baja, menggali kebenaran. Ia telah kehilangan keluarganya akibat kebakaran misterius bertahun-tahun lalu, dan hatinya dipenuhi dendam yang membara. Setiap malam, di bawah rembulan yang sama dengan yang dilihat Mei Lan, Jian membaca catatan-catatan kuno, mencari petunjuk tentang siapa yang menghancurkan hidupnya. Ia tahu, kebenaran itu bagaikan pecahan kaca, tajam dan menyakitkan, namun harus digenggam erat demi keadilan.
Pertemuan mereka takdir, atau mungkin hanya skenario yang ditulis oleh takdir yang kejam. Mei Lan, yang haus akan kejujuran, tertarik pada keberanian dan tekad Jian. Jian, yang melihat kesedihan tersembunyi di balik senyum Mei Lan, merasakan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Mereka jatuh cinta, cinta yang terlarang, cinta yang tumbuh di atas puing-puing kebohongan dan dendam.
Namun, kebenaran selalu menemukan jalannya. Jian menemukan bukti yang tak terbantahkan: keluarga Lin adalah dalang di balik kebakaran yang menewaskan keluarganya. Lebih buruk lagi, Mei Lan tahu tentang kebenaran itu, namun memilih diam.
Dunia Mei Lan runtuh. Ia mencintai Jian, tapi ia juga terikat pada keluarga dan kutukan yang mewarnai hidupnya. Ia mencoba menjelaskan, tapi kata-katanya hancur di bibir, menjadi debu penyesalan.
"Kau tahu, Mei Lan? Kau tahu dan kau diam saja?" Jian bertanya dengan suara serak, matanya berkilat marah dan kecewa. "Cinta kita… hanyalah kebohongan yang lain?"
Mei Lan tidak menjawab. Air matanya mengalir, membasahi pipinya. Ia telah kehilangan segalanya: cintanya, kehormatannya, dan dirinya sendiri.
Jian pergi, meninggalkan Mei Lan sendirian di tepi danau yang dingin. Tapi, kepergiannya bukan berarti akhir. Itu adalah permulaan dari pembalasan dendam yang dingin dan terencana.
Mei Lan menggunakan pengetahuannya tentang keluarga Lin, kelemahan mereka, rahasia mereka. Ia memanipulasi, merencanakan, dan menggerakkan bidak-bidak di papan catur yang rumit. Ia menjadi dalang di balik layar, menghancurkan kekaisaran keluarga Lin dari dalam. Ia melakukannya bukan karena cinta, bukan karena benci, tapi karena keadilan yang telah lama tertunda.
Ketika keluarga Lin hancur berkeping-keping, Mei Lan berdiri di atas reruntuhan mereka, senyum tipis menghiasi bibirnya. Senyum yang indah, tapi juga mengerikan. Senyum yang menyimpan perpisahan. Senyum yang mengatakan, "Semuanya telah berakhir."
Ia menghampiri Jian, memberikan bukti yang ia butuhkan untuk membersihkan nama keluarganya dan menuntut keadilan. Ia menyerahkan dirinya pada pengadilan, menerima hukumannya dengan tenang.
"Kau tidak seharusnya melakukan ini, Mei Lan," kata Jian, suaranya penuh dengan penyesalan.
Mei Lan tersenyum, menatap Jian dengan mata yang kosong. "Ini adalah satu-satunya cara, Jian. Kebenaran harus ditegakkan, meskipun itu berarti kehancuranku sendiri."
Ia menoleh, berjalan menuju gerbang penjara yang terbuka, meninggalkan Jian terpaku di tempatnya.
Di malam yang sunyi, ketika rembulan bersinar terang di langit, Mei Lan menghirup udara dingin dalam-dalam. Ia tahu, hidupnya telah berakhir. Namun, di matanya, terpancar kemenangan. Ia telah membebaskan dirinya dari kutukan lama, meskipun dengan harga yang sangat mahal.
Apakah Mei Lan benar-benar bebas, ataukah ia hanya mewariskan kutukan itu kepada orang lain?
You Might Also Like: Jual Skincare Dengan Kandungan Alami
0 Comments: